“Saya ibu dari 4 anak. Yang pertama umur 8 th, yang kedua 7 th, yang ke-3 mau 2 th, dan yang ke-4 baru mau satu tahun… Saya sudah telat haid 10 hari. Pas saya test, hasilnya positif.. Sya masih sangat kerepotan untuk mengurus anak anak dan suami.”
Seorang ibu dari Indonesia yang sudah berumah tangga mencari tahu akses layanan aborsi aman melalui Women on Web. Tanpa ditanya alasannya, ia menceritakan kisahnya. Ini hanya satu dari sekian banyak perempuan yang menghubungi Women on Web untuk akses layanan aborsi aman. Continue reading RUU PKS tentang Aborsi: Keputusan di Tangan Perempuan
Jika pil aborsi ikut #10yearschallenge seperti yang sedang digandrungi beberapa media sosial, ia bisa jadi begitu-begitu saja. Kombinasinya sama. Bentuknya sama. Manfaatnya juga sama. Sama-sama bisa membantu perempuan mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Sama-sama bisa mengakibatkan aborsi. Bahkan, buktinya semakin banyak. Continue reading #10yearschallenge Pil Aborsi Aman
Layanan kesehatan seksualitas dan reproduksi kerap tidak mudah didapatkan jika seseorang belum memegang status sudah menikah, apalagi remaja. Moralnya biasanya dipertanyakan sehingga membuat remaja perempuan merasa malu, putus asa, dan bersalah. Banyak tenaga kesehatan dan tenaga medis menolak memberikan layanan kontrasepsi bagi perempuan yang belum menikah, termasuk temaja. Apalagi aborsi.
Hampir 80% perempuan di Timur Tengah dan Afrika Utara tinggal di negara-negara dengan hukum aborsi yang ketat. Isu kesehatan publik.
Banyak perempuan turun ke jalan di berbagai belahan dunia pada 28 September, hari aksi untuk aborsi aman sedunia sukses dan memberikan tuntutan anyar terkait hak akses terhadap aborsi aman, gratis, dan legal.
Hak akses terhadap aborsi aman terancam di banyak negara, dari Amerika Serikat sampai Polandia, dari Argentina sampai Irlandia, para perempuan masih memerjuangkannya. Agama, khususnya Katolik, sering kali disebut sebagai rintangan utama terkait kontrasepsi dan aborsi. Maka itu, banyak negara dengan mayoritas Katolik mempunyai hukum aborsi yang ketat. Sebut saja Andorra, Republik Dominika, El Salvador, Malta, Nicaragua dan Vatikan merupakan nama-nama yang melarang aborsi tanpa kecuali.
Tapi, bagaimana dengan negara-negara yang dominan Muslim?
Hampir 80% perempuan di Timur Tengah dan Afrika Utara tinggal di negara-negara dengan hukum aborsi yang ketat. Di antaranya, 55% tinggal di negara-negara yang melarang aborsi, kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibunya dan 24% tinggal di negara-nergara yang membolehkah aborsi demi keseharan fisik dan mental perempuan. Hari ini, hanya Turki dan Tunisia lah yang membolehkan aborsi elektif (aborsi atas pemintaan). Pun, tidak ada negara di wilayah itu dengan hukum larangan total aborsi, hukum aborsi membatasi ruang perempuan untuk mengakses aborsi aman.
Seperti di mana-mana, aborsi menjadi topik yang sangat kontroversial di negara-negara dengan mayoritas Muslim, seperti yurisprudensi Islam. Bahkan di negara-negara yang melegalkannya, seperti di Turki, aborsi kerap ditantang dan diserang oleh wacara politik dan agama seberang. Serupa juga di Tunisia, selain bingkai hukumnya, perempuan masih melaporkan bahwa mereka dihakimi tenaga medis dan masyarakat untuk mengakses aborsi.
Apa yang Islam bilang soal aborsi?
Secara umum, pemuka Muslim mempertimbangkan aborsi sebagai aksi intervensi terhadap peran Allah (Tuhan), satu-satunya penentu kehidupan dan kematian. Namun, perbedaan mazhab Islam mempunyai cara pandang terhadap aborsi yang berbeda pula. Menurut mazhab Hanafi, yang banyak dianut di Timur Tengah, Turki, dan Asia Tengah, dan menjadi dasar hukum selama Kerajaan Ottoman, aborsi dikonsepkan sebagai ıskât-ı cenîn, yang bisa diterjemahkan sebagai pengeluaran fetus.
Awalnya, terminology ini mengaburkan karena tidak membedakan keguguran spontan dan aborsi. Apalagi, dalam mazhab Hanafi, disebutkan bahwa ıskât-ı cenîn adalah mekrouh, artinya tidak diinginkan—bukannya haram (dilarang), sebelum fetus mencapai 120 hari, mengingat fetus belum memiliki jiwa sampai saat itu. Pun, meski mekrouh, terminasi kehamilan memerlukan persetujuan suami dan itu mempertimbangkan hak atau keputusan dari pihak perempuan.
Pada saat yang sama, mazhab Islam lainnya mempunyai pandangan berbeda terkait aborsi. Mazhab shafi, yang dominan di Asia Tenggara dan sebagian Africa, kebanyakan memperbolehkan terminasi kehamilan sampai usia kehamilan 40 hari dan terdapat beragam opini dalam mazhab terkait perkembangan fetus.
Beberapa imam Safi bahkan menolerasi aborsi sampai usia kehamilan 120 hari. Walaupun mazhab Hanbali yang dominan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab tidak mempunyai kesepakatan tunggal terkait aborsi, beberapa opini juga memperbolehkan aborsi sampai 120 hari kehamilan. Akhirnya, mazhab Mailiki, dominan di Afrika Utara, menegaskan bahwa fetus merupakan potensi kehidupan dan melarang aborsi tanpa pengecualian. Jadi, semua mazhab Islam mempertimbangkan fetus terjiwai pada 120 hari setelah konsepsi dan tidak ada satu pun yang menyetujui aborsi setelah tahapan itu.
Orang-orang Maroko yang protes memegang slogal menentang aborsi di pintu masuk pelabuhan Mediterranean Marina Smir, dekat Tetouan, Maroko bagian utara, pada 4 Oktober 2012, tentara menutup akses ke pelabuhan.
Fadel Senna/AFP
Pertimbangan sosio-politikal baru
Di banyak negara yang bermayoritas Muslim, yurisprudensi Islam mempengaruhi legislasi aborsi. Meskipun demikian, kekhawatiran sosio-politikal baru kerap muncul, legislasi aborsi sudah terbarui. Dalam kasus Kerajaan ottoman, “medium bebas” relatif yang ditawarkan oleh mazhab Hanafi ditantang oleh pro-kelahiran baru dan agenda modernis muncul akhir abad delapan belas. Situasi kerajaan menurun, modenisasi dan pertumbuhan penduduk dilihat sebagai ramuan bagi stabilitas militer, ekonomi, dan politik. Terinspirasi oleh Eropa, pada Ottoman hendak mencapai terobosan melalui reformasi luas dan proses kodifikasi.
Pada 1858, hukum pidana Kerajaan Ottoman membuat model setelah hukum pindah Prancis 1810 (Code Pénal 1810)–diadopsi. Hukum Pidana yang baru secara formal melarang dan mengkriminalisasikan aborsi melalui harmonisasi unik dari Hukum Pidana Prancis dengan yurisprudensi Islam. Kemudian, aborsi disebut-sebut haram (dilarang) secara legal di seluruh teritori Ottoman. Namun, dalam yurisprudensi Ottoman, aboarsi dikonsepkan secara ekslusif sebagai fenomena sosial. Ada prosekusi terdokumentasi yang diikuti implementasi yang menggambarkan poin Hukum Pidana ini, mereka mengkriminalisasikan praktisi aborsi, seperti dokter, perawat, juru farmasi, dan lain-lain, daripada perempuannya sendiri.
Mengikuti yurisprudensi Ottoman, banyak bekas teritori Ottoman tetap memberlakukan pembatasan aborsi. Meskipun demikian, ketika kita melihat negara-negara mayoritas Muslim, kita juga melihat keberagaman hukum aborsinya yang memperbolehkan dan melarang aborsi atas dasar macam-macam. Saat ini, banyak dari negara-negara itu, aborsi sering kali diperbolehkan ketika nyawa perempuan dalam bahaya, ketika fetus tidak berkembang, atau ketika kehamilannya merupakan akibat tindakan kriminal, seperti perkosaan. Ragam dasar itu memberi ruang kepada perempuan untuk tetap dapat melakukan aborsi, pun mereka tetap diharuskan berada di bawah naungan supervise medis dan proses hukum, menyebabkan ketiadaan ruang untuk aborsi yang dipilih.
Membatasi aborsi membawanya ke bawah tanah
Sudah diketahui secara umum dan ilmiah bahwa membatas aborsi tidak menghilangkan praktiknya. Sebaliknya, itu malah menyebabkan aborsi bekerja di bawah tanah dan memunculkan kemungkinan terjadinya aborsi tidak aman, juga kematian persalinan. Perempuan menggunakan metode berbahaya untuk mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkannya, mereka merisikokan kesehatannya, fertilitasnya, bahkan nyawanya. Setiap tahun, 47.000 perempuan meninggal dari komplikasi terkait aborsi tidak aman. Timur Tengah dan Afrika Utara, mengikuti Afrika Sub-Sahara dan Asia Selatan, berdampak besar terhadap negara ketiga dengan angka kematian ibu yang sangat tinggi.
Selanjutnya, pembatasan aborsi paling berdampak bagi perempuan dari latar belakang ekonomi rendah. Kerap, perempuan yang mampu masih mungkin untuk bepergian untuk mendapatkan akses aborsi aman di negara atau daerah lain. Beberapa perempuan juga bisa berhasil bernegosiasi dengan pemberi layanan kesehatan lokal. Untuk sebagian lainnya, pasar gelap hanya menjadi satu-satunya harapan. Banyak perempuan menjadi korban dari penipuan yang menjual pil aborsi palsu dengan harga tinggi. Bahkan bagi sebagian perempuan yang bisa mengakses layanan atau obat terpercaya, mereka jarang mendapatkan informasi terpercaya dan perawatan yang relevan. Ini mengakibatkan pengalaman aborsi mereka terisolasi sekaligus menyakitkan.
Angin segar dalam perubahan aplikasi
Seiring dengan kemajuan aborsi medis dan aborsi telemedis, alternatif aborsi aman semakin berkembang melampaui pembatasan hukum. Banyak perempuan yang tinggal di negara-negara mayoritas islam atau di mana pun dengan hukum aborsi yang ketat, melakukan konsultasi secara online (dalam jaringan) untuk mendapatkan bantuan dan informasi sehingga bisa swa-administrasi pil aborsi medis.
Studi sudah membuktikan bahwa swa-administrasi pil aborsi medis yang didapat dari layanan telemedis aman dan efektif bagi kehamilan muda.
Halaman muka situs Women on Web dalam Bahasa Arab. Women on Web adalah layanan aborsi telemedis yang menyediakan bantuan dan informasi kepada perempuan yang tinggal dalam situasi terbatas.
Pun begitu, di beberapa negara, seperti di Arab Saudi dan Turki, Women on Web sudah diblok. Dalam kasus seperti ini, untuk berdalih terhadap sensor, perempuan menggunakan aplikasi dalam ponsel mereka untuk meminta bantuan.
Saat ini, aborsi dianggap haram, illegal, dan rahasia di sebagian besar dunia Muslim. Selain itu, perempuan terus menantang status quo dan hukum kuno melalui kegiatan dan aktivisme mereka sehari-hari.
Vagina menjadi topik tabu untuk dibicarakan kebanyakan perempuan. Alih-alih menyebutkan vagina, banyak perempuan diajarkan untuk menyebut dengan perumpamaan lain, seperti “warung”. Perumpamaan itu sudah menimbulkan jarak antara perempuan dan tubuhnya sendiri, juga mendeskreditkan posisi perempuan. Apalagi, pendidikan seksualitas tidak membicarakan vagina secara apa adanya, kerap hanya sebatas fungsi reproduksinya.
Konstruksi sosial membuat perempuan tidak mengenal tubuhnya sendiri.
Dalam podcast ini, Magdalene–www.magdalene.co–mengajak Marcia Soumokil dari IPAS untuk membincangkan vagina tanpa kecanggungan. Sudah saatnya perempuan membicarakan tubuhnya sendiri tanpa malu-malu.
Cerita seorang perempuan Indonesia yang mengakses layanan aborsi aman di Den Haag, Belanda
Perempuan ini hamil. Setelah mencari tahu klinik aborsi di Den Haag, dia pergi ke salah satunya. Sepertinya yang ia katakan, dia cukup beruntung karena sedang tinggal di negara yang akses terhadap layanan aborsi amannya bisa diakses oleh banyak perempuan.
Pun, itu tidak mudah baginya.
Perempuan ini lebih memilih menggunakan metode vakum dan menjelaskan bagaimana semuanya berjalan.
“Sampai hari ini, saya masih bersyukur untuk bisa mengakses layanan yang profesional dan simpatik, karena bagi orang yang melakukan aborsi, ini tidak mudah.”
Perempuan berusia 15 tahun melakukan aborsi. Ia mengalami kehamilan tidak diinginkan akibat kakaknya memperkosanya. Sempet ditahan, banyak organisasi memperjuangkan haknya. Setelah dilepas, kini Jaksa menuntut untuk mengganjar hukum sebagai “pelajaran”.Continue reading Jaksa Meminta Penyintas Perkosaan Dihukum karena Aborsi
Whatsapp, surat elektronik, telepon, dan kunjungan merupakan cara-cara yang perempuan tempuh untuk mengadu kekerasan atau perkosaan yang dialaminya kepada Nurani Perempuan. Nurani Perempuan yang berlokasi di Padang, Sumatra Barat, Indonesia merupakan organisasi yang mendampingi perempuan penyintas kekerasan dan perkosaan, juga melakukan advokasi terkait hal itu. Maka itu, Nurani Perempuan sering kali menjadi telinga dan uluran tangan bagi perempuan penyintas. Continue reading Padang: Siapa yang Anda hubungi ketika mengalami kehamilan yang tidak diinginkan?
Irlandia menggoreskan sejarah penting pada 25 Mei 2018. Negaranya tidak lagi melanggar salah satu hak asasi perempuan.
Irlandia mulai menjamin perempuan bisa mengakses aborsi aman di negaranya sendiri.
Referendum yang dilakukan pada 25 Mei 2018 menghasilkan 66,4% mengisi kotak “iya”. “Iya” yang dimaksud adalah perubahan dalam amandemen kedelapan konstitusi Irlandia: apakah perlu menghapuskan pasal yang menyatakan bahwa hak yang belum lahir sama saja dengan hak ibunya? Ketika hasil diumumkan, orang-orang yang berkumpul bersorak sorai. Mengepalkan tangannya ke atas. Bertepuk tangan. Berteriak. Berpelukan. Menangis. Terharu sekaligus kegirangan.
Aborsi aman memang isu perempuan. Namun, ada 30% perempuan pemilih yang berpihak pada tidak adanya perubahan. Justru, banyak laki-laki memberikan dukungan. Hasil voting menunjukkan bahwa 65% orang yang mengatakan “iya” adalah laki-laki. Sementara itu, pemilih urban maupun rural cenderung memilih “iya”, yaitu 71% dan 60%. Survei itu dilakukan oleh Ipsos MRBI untuk The Irish Times. Mereka mewawancarai lebih dari 4.500 pemilih di 160 lokasi yang berbeda.
Setelah pengumuman, Perdana Menteri Irlandia, Leo Varadkar, menyatakan bahwa hasil tersebut menunjukkan bahwa publik, “percaya dan menghargai perempuan untuk menentukan keputusan dan pilihannya sendiri.”
Menariknya, semakin muda usia pemilih, kecenderungan untuk memilih “iya” semakin besar.
Mayoritas kelompok umur memilih “iya”, masih dari survei yang sama. Pemilih yang berusia 18—24 tahun mencapai 87%; pemilih berumur 25—34 tahun mendapat suara “iya” hingga 83%. Kebanyakan dari mereka (74%) yang berusia 35—49 tahun juga bilang “iya”. Pun semakin menurun jumlahnya, tetapi lebih dari setengah jumlah pemilih berusia 30—64 tahun tetap mengatakan “iya” (63%). Kecuali, pemilih di atas 65 tahun; 60% memilih “tidak”.
Mungkin, usia itu terpengaruh dari amendemen konstitusi yang kedelapan pada 1983. Kala itu, 67% orang memilih pengakuan terhadap hak hidup yang belum lahir dan memberikan hak yang setara dengan ibunya. Sejak tahun itu sampai 25 Mei 2018, aborsi hanya bisa diakses di Irlandia ketika perempuan berada dalam keadaan yang membahayakan nyawanya, tetapi tidak dalam kasus fetus abnormal, perkosaan, atau inses. Ketika ada yang membantu perempuan menjalankan keputusannya, kriminalisasi dijatuhkan.
Itu hanya berlaku bagi mereka yang punya kemewahan akses. Sayangnya, kewahan tersebut tidak dimiliki oleh Savita Halappanavar.
Kasus Savita Halappanavar, seorang dokter gigi yang tinggal di Galway, sering disebutkan sebagai pemantik referendum ini. Pada kehamilan anak pertamanya yang berusia 17 minggu pada 2012, ia pergi ke rumah sakit akibat sakit punggung. Dokter mengatakan fetusnya tidak dapat bertahan lagi, tetapi Savita tetap tidak bisa diberikan layanan aborsi. Irlandia adalah negara Katolik dan menghentikan kehamilan ketika masih ada denyut jantung merupakan tindakan illegal, orang-orang mengatakan kepadanya.
Ia terpaksa pulang dan menunggu sampai denyut fetusnya menghilang. Saat itu terjadi, ia sudah mengalami infeksi. Nyawanya tak tertolong. Ia meninggal.
Kemewahan juga tidak dimiliki perempuan korban perkosaan berusia 14 tahun. “Kasus X” terjadi pada 1992. Perkosaan menyebabkan ia hamil. Ia dihalang-halangi pergi ke Inggris untuk melakukan aborsi. Ia akhirnya merisikokan nyawanya sendiri.
Perempuan juga memilih mengakses aborsi dengan cara yang lebih susah dan lebih mahal. Menurut IFPA, antara 1980 sampai 2016, Departemen Kesehatan Inggris mengeluarkan statistik yang menunjukkan bahwa terdapat 168.703 perempuan yang mengakses layanan aborsi dengan alamat Irlandia.
Bahkan, hanya melihat pada 2016, sejumlah 3.265 perempuan—termasuk remaja—mengakses layanan itu. Itu belum menjadi angka keseluruhan mengingat banyak perempuan juga bepergian ke negara lain untuk mengakses aborsi, misalnya ke Belanda.
Lagi-lagi, itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kemewahan, finansial misalnya.
Pilihan lain bagi perempuan adalah melakukan aborsi medis di rumahnya. Setiap hari ada lima permintaan pil aborsi dari Irlandia, berdasarkan data Women on Web yang diolah dan dianalisis oleh Abigail Aiken, asisten profesor di Universitas Texas, Austin. Studinya menunjukkan bahwa 95% perempuan berhasil mengakhiri kehamilannya dan 5% memerlukan tindakan medis. Women on Web memberikan layanan aborsi medis aman bagi perempuan di banyak negara, termasuk Irlandia.
“Kita tidak bisa lagi terus-menerus mengekspor masalah kita dan mengimpor solusinya,” demikian yang dikatakan Perdana Menteri Irlandia, Leo Varadkar.
Malah, suara-suara pemilih berdatangan dari berbagai negara. Orang-orang rela pulang demi suaranya masuk hitungan. Perjalanan 30 jam menjadi bukan persoalan. Seseorang menawarkan uangnya untuk digunakan sebagai biaya perjalanan orang lain. Semua demi hitungan “iya”.