Layanan Aborsi Aman dan Legal untuk Korban Perkosaan Mengapa Sulit Diakses?

Suara.com menuliskan artikel tentang tantangan pemberian layanan aborsi aman. Pemerintah sudah menyediakan payung hukumnya melalui PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang disahkan oleh Presiden SBY, merupakan pelaksanaan amanah Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Untuk melihat implementasinya, Suara.com mewawancarai Zumrotin K Soesilo dan Herna Lestari dari Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP).

Penyintas perkosaan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD) belum bisa mendapatkan pelayanan aborsi aman. Menurut Herna, itu disebabkan oleh belum adanya tenaga medis dan tempat yang dirujuk oleh Kemenkes. Keterbatasan itu tidak menghentikan kebutuhan perempuan terhadap layanan aborsi. Maka itu, aborsi tidak aman menjadi pilihannya, bahkan berkontribusi terhadap tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia.

“Belum lagi, banyaknya kriminalisasi terhadap pelaku aborsi dan pemberi layanan tanpa melihat alasannya. Itu kan seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah diperkosa, hamil, harus menanggung bayi yang tidak diinginkan, aborsi, dikriminalisasi pula karena tindakannya,” ungkap dia merinci.

Sebagian petugas medis dan kesehatan punya alasan kenapa mereka segan memberikan layanan tersebut. Selain nilai personal yang dianut, ada pula interpretasi sepihak dari Sumpah Hipokrates (sumpah Dokter).

Baca berita lengkapnya di sini.

 

Debat: Ketika aborsi haram, perempuan mencari cara demi haknya

Hampir 80% perempuan di Timur Tengah dan Afrika Utara tinggal di negara-negara dengan hukum aborsi yang ketat. Isu kesehatan publik.

Women on Web-The Conversation-1.jpg

Banyak perempuan turun ke jalan di berbagai belahan dunia pada 28 September, hari aksi untuk aborsi aman sedunia sukses dan memberikan tuntutan anyar terkait hak akses terhadap aborsi aman, gratis, dan legal.

Hak akses terhadap aborsi aman terancam di banyak negara, dari Amerika Serikat sampai Polandia, dari Argentina sampai Irlandia, para perempuan masih memerjuangkannya. Agama, khususnya Katolik, sering kali disebut sebagai rintangan utama terkait kontrasepsi dan aborsi. Maka itu, banyak negara dengan mayoritas Katolik mempunyai hukum aborsi yang ketat. Sebut saja Andorra, Republik Dominika, El Salvador, Malta, Nicaragua dan Vatikan merupakan nama-nama yang melarang aborsi tanpa kecuali.

Tapi, bagaimana dengan negara-negara yang dominan Muslim?

Hampir 80% perempuan di Timur Tengah dan Afrika Utara tinggal di negara-negara dengan hukum aborsi yang ketat. Di antaranya, 55% tinggal di negara-negara yang melarang aborsi, kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibunya dan 24% tinggal di negara-nergara yang membolehkah aborsi demi keseharan fisik dan mental perempuan. Hari ini, hanya Turki dan Tunisia lah yang membolehkan aborsi elektif (aborsi atas pemintaan). Pun, tidak ada negara di wilayah itu dengan hukum larangan total aborsi, hukum aborsi membatasi ruang perempuan untuk mengakses aborsi aman.

Seperti di mana-mana, aborsi menjadi topik yang sangat kontroversial di negara-negara dengan mayoritas Muslim, seperti yurisprudensi Islam. Bahkan di negara-negara yang melegalkannya, seperti di Turki, aborsi kerap ditantang dan diserang oleh wacara politik dan agama seberang. Serupa juga di Tunisia, selain bingkai hukumnya, perempuan masih melaporkan bahwa mereka dihakimi tenaga medis dan masyarakat untuk mengakses aborsi.

 

Apa yang Islam bilang soal aborsi?

Secara umum, pemuka Muslim mempertimbangkan aborsi sebagai aksi intervensi terhadap peran Allah (Tuhan), satu-satunya penentu kehidupan dan kematian. Namun, perbedaan mazhab Islam mempunyai cara pandang terhadap aborsi yang berbeda pula. Menurut mazhab Hanafi, yang banyak dianut di Timur Tengah, Turki, dan Asia Tengah, dan menjadi dasar hukum selama Kerajaan Ottoman, aborsi dikonsepkan sebagai ıskât-ı cenîn, yang bisa diterjemahkan sebagai pengeluaran fetus.

Awalnya, terminology ini mengaburkan karena tidak membedakan keguguran spontan dan aborsi. Apalagi, dalam mazhab Hanafi, disebutkan bahwa ıskât-ı cenîn adalah mekrouh, artinya tidak diinginkan—bukannya haram (dilarang), sebelum fetus mencapai 120 hari, mengingat fetus belum memiliki jiwa sampai saat itu. Pun, meski mekrouh, terminasi kehamilan memerlukan persetujuan suami dan itu mempertimbangkan hak atau keputusan dari pihak perempuan.

Pada saat yang sama, mazhab Islam lainnya mempunyai pandangan berbeda terkait aborsi. Mazhab shafi, yang dominan di Asia Tenggara dan sebagian Africa, kebanyakan memperbolehkan terminasi kehamilan sampai usia kehamilan 40 hari dan terdapat beragam opini dalam mazhab terkait perkembangan fetus.

Beberapa imam Safi bahkan menolerasi aborsi sampai usia kehamilan 120 hari. Walaupun mazhab Hanbali yang dominan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab tidak mempunyai kesepakatan tunggal terkait aborsi, beberapa opini juga memperbolehkan aborsi sampai 120 hari kehamilan. Akhirnya, mazhab Mailiki, dominan di Afrika Utara, menegaskan bahwa fetus merupakan potensi kehidupan dan melarang aborsi tanpa pengecualian. Jadi, semua mazhab Islam mempertimbangkan fetus terjiwai pada 120 hari setelah konsepsi dan tidak ada satu pun yang menyetujui aborsi setelah tahapan itu.

Women on Web-The Conversation-1.jpg

Orang-orang Maroko yang protes memegang slogal menentang aborsi di pintu masuk pelabuhan Mediterranean Marina Smir, dekat Tetouan, Maroko bagian utara, pada 4 Oktober 2012, tentara menutup akses ke pelabuhan.

Fadel Senna/AFP

 

Pertimbangan sosio-politikal baru

Di banyak negara yang bermayoritas Muslim, yurisprudensi Islam mempengaruhi legislasi aborsi. Meskipun demikian, kekhawatiran sosio-politikal baru kerap muncul, legislasi aborsi sudah terbarui. Dalam kasus Kerajaan ottoman, “medium bebas” relatif yang ditawarkan oleh mazhab Hanafi ditantang oleh pro-kelahiran baru dan agenda modernis muncul akhir abad delapan belas. Situasi kerajaan menurun, modenisasi dan pertumbuhan penduduk dilihat sebagai ramuan bagi stabilitas militer, ekonomi, dan politik. Terinspirasi oleh Eropa, pada Ottoman hendak mencapai terobosan melalui reformasi luas dan proses kodifikasi.

Pada 1858, hukum pidana Kerajaan Ottoman membuat model setelah hukum pindah Prancis 1810 (Code Pénal 1810)–diadopsi. Hukum Pidana yang baru secara formal melarang dan mengkriminalisasikan aborsi melalui harmonisasi unik dari Hukum Pidana Prancis dengan yurisprudensi Islam. Kemudian, aborsi disebut-sebut haram (dilarang) secara legal di seluruh teritori Ottoman. Namun, dalam yurisprudensi Ottoman, aboarsi dikonsepkan secara ekslusif sebagai fenomena sosial. Ada prosekusi terdokumentasi yang diikuti implementasi yang menggambarkan poin Hukum Pidana ini, mereka mengkriminalisasikan praktisi aborsi, seperti dokter, perawat, juru farmasi, dan lain-lain, daripada perempuannya sendiri.

Mengikuti yurisprudensi Ottoman, banyak bekas teritori Ottoman tetap memberlakukan pembatasan aborsi. Meskipun demikian, ketika kita melihat negara-negara mayoritas Muslim, kita juga melihat keberagaman hukum aborsinya yang memperbolehkan dan melarang aborsi atas dasar macam-macam. Saat ini, banyak dari negara-negara itu, aborsi sering kali diperbolehkan ketika nyawa perempuan dalam bahaya, ketika fetus tidak berkembang, atau ketika kehamilannya merupakan akibat tindakan kriminal, seperti perkosaan. Ragam dasar itu memberi ruang kepada perempuan untuk tetap dapat melakukan aborsi, pun mereka tetap diharuskan berada di bawah naungan supervise medis dan proses hukum, menyebabkan ketiadaan ruang untuk aborsi yang dipilih.

 

Membatasi aborsi membawanya ke bawah tanah

Sudah diketahui secara umum dan ilmiah bahwa membatas aborsi tidak menghilangkan praktiknya. Sebaliknya, itu malah menyebabkan aborsi bekerja di bawah tanah dan memunculkan kemungkinan terjadinya aborsi tidak aman, juga kematian persalinan. Perempuan menggunakan metode berbahaya untuk mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkannya, mereka merisikokan kesehatannya, fertilitasnya, bahkan nyawanya. Setiap tahun, 47.000 perempuan meninggal dari komplikasi terkait aborsi tidak aman. Timur Tengah dan Afrika Utara, mengikuti Afrika Sub-Sahara dan Asia Selatan, berdampak besar terhadap negara ketiga dengan angka kematian ibu yang sangat tinggi.

Selanjutnya, pembatasan aborsi paling berdampak bagi perempuan dari latar belakang ekonomi rendah. Kerap, perempuan yang mampu masih mungkin untuk bepergian untuk mendapatkan akses aborsi aman di negara atau daerah lain. Beberapa perempuan juga bisa berhasil bernegosiasi dengan pemberi layanan kesehatan lokal. Untuk sebagian lainnya, pasar gelap hanya menjadi satu-satunya harapan. Banyak perempuan menjadi korban dari penipuan yang menjual pil aborsi palsu dengan harga tinggi. Bahkan bagi sebagian perempuan yang bisa mengakses layanan atau obat terpercaya, mereka jarang mendapatkan informasi terpercaya dan perawatan yang relevan. Ini mengakibatkan pengalaman aborsi mereka terisolasi sekaligus menyakitkan.

 

Angin segar dalam perubahan aplikasi

Seiring dengan kemajuan aborsi medis dan aborsi telemedis, alternatif aborsi aman semakin berkembang melampaui pembatasan hukum. Banyak perempuan yang tinggal di negara-negara mayoritas islam atau di mana pun dengan hukum aborsi yang ketat, melakukan konsultasi secara online (dalam jaringan) untuk mendapatkan bantuan dan informasi sehingga bisa swa-administrasi pil aborsi medis.

Studi sudah membuktikan bahwa swa-administrasi pil aborsi medis yang didapat dari layanan telemedis aman dan efektif bagi kehamilan muda.

Menjadi salah satu layanan telemedis yang menyediakan aborsi aman dalam situasi ketat, Women on Web (WoW) membantu sekitar 60.000 perempuan setiap tahun. Situs mereka bisa diakses dalam 16 bahasa, termasuk Bahasa Arab, Perisa, dan Turki.

Women on Web-The Conversation-4.png

Halaman muka situs Women on Web dalam Bahasa Arab. Women on Web adalah layanan aborsi telemedis yang menyediakan bantuan dan informasi kepada perempuan yang tinggal dalam situasi terbatas.

 

Pun begitu, di beberapa negara, seperti di Arab Saudi dan Turki, Women on Web sudah diblok. Dalam kasus seperti ini, untuk berdalih terhadap sensor, perempuan menggunakan aplikasi dalam ponsel mereka untuk meminta bantuan.

Saat ini, aborsi dianggap haram, illegal, dan rahasia di sebagian besar dunia Muslim. Selain itu, perempuan terus menantang status quo dan hukum kuno melalui kegiatan dan aktivisme mereka sehari-hari.

Pada 2012, ketika menanggapi rencana legislasi untuk membatas aborsi di Turki, ribuan perempuan mengorganisir unjuk rasa pro-choice di Istanbul. Mengambil alih jalanan untuk menuntut hak mereka terhadap aborsi aman, perempuan menuntut otonomi tubuh mereka: “Aborsi merupakan hak, keputusan ada di tangan perempuan.” (Kürtaj haktır, karar kadınların).

 

Diterjemahkan secara bebas dari The Conversation untuk kepentingan pengetahuan yang bisa diakses.

Ditulis oleh: Hazal Atay Ph.D candidate, INSPIRE Marie Skłodowska-Curie Fellow at Sciences Po Paris, Sciences Po – USPC