Irlandia Bilang “Iya” untuk Akses Aborsi

Irlandia menggoreskan sejarah penting pada 25 Mei 2018. Negaranya tidak lagi melanggar salah satu hak asasi perempuan.

Irlandia mulai menjamin perempuan bisa mengakses aborsi aman di negaranya sendiri.

Referendum yang dilakukan pada 25 Mei 2018 menghasilkan 66,4% mengisi kotak “iya”. “Iya” yang dimaksud adalah perubahan dalam amandemen kedelapan konstitusi Irlandia: apakah perlu menghapuskan pasal yang menyatakan bahwa hak yang belum lahir sama saja dengan hak ibunya? Ketika hasil diumumkan, orang-orang yang berkumpul bersorak sorai. Mengepalkan tangannya ke atas. Bertepuk tangan. Berteriak. Berpelukan. Menangis. Terharu sekaligus kegirangan.

Aborsi aman memang isu perempuan. Namun, ada 30% perempuan pemilih yang berpihak pada tidak adanya perubahan. Justru, banyak laki-laki memberikan dukungan. Hasil voting menunjukkan bahwa 65% orang yang mengatakan “iya” adalah laki-laki. Sementara itu, pemilih urban maupun rural cenderung memilih “iya”, yaitu 71% dan 60%. Survei itu dilakukan oleh Ipsos MRBI untuk The Irish Times. Mereka mewawancarai lebih dari 4.500 pemilih di 160 lokasi yang berbeda.

Setelah pengumuman, Perdana Menteri Irlandia, Leo Varadkar, menyatakan bahwa hasil tersebut menunjukkan bahwa publik, “percaya dan menghargai perempuan untuk menentukan keputusan dan pilihannya sendiri.”

Menariknya, semakin muda usia pemilih, kecenderungan untuk memilih “iya” semakin besar.

Mayoritas kelompok umur memilih “iya”, masih dari survei yang sama. Pemilih yang berusia 18—24 tahun mencapai 87%; pemilih berumur 25—34 tahun mendapat suara “iya” hingga 83%. Kebanyakan dari mereka (74%) yang berusia 35—49 tahun juga bilang “iya”. Pun semakin menurun jumlahnya, tetapi lebih dari setengah jumlah pemilih berusia 30—64 tahun tetap mengatakan “iya” (63%). Kecuali, pemilih di atas 65 tahun; 60% memilih “tidak”.

Mungkin, usia itu terpengaruh dari amendemen konstitusi yang kedelapan pada 1983. Kala itu, 67% orang memilih pengakuan terhadap hak hidup yang belum lahir dan memberikan hak yang setara dengan ibunya. Sejak tahun itu sampai 25 Mei 2018, aborsi hanya bisa diakses di Irlandia ketika perempuan berada dalam keadaan yang membahayakan nyawanya, tetapi tidak dalam kasus fetus abnormal, perkosaan, atau inses. Ketika ada yang membantu perempuan menjalankan keputusannya, kriminalisasi dijatuhkan.

Alhasil, perempuan Irlandia hanya diperbolehkan mendapatkan informasi layanan aborsi di negara Uni Eropa lain dan dapat bepergian ke sana.

Itu hanya berlaku bagi mereka yang punya kemewahan akses. Sayangnya, kewahan tersebut tidak dimiliki oleh Savita Halappanavar.

Kasus Savita Halappanavar, seorang dokter gigi yang tinggal di Galway, sering disebutkan sebagai pemantik referendum ini. Pada kehamilan anak pertamanya yang berusia 17 minggu pada 2012, ia pergi ke rumah sakit akibat sakit punggung. Dokter mengatakan fetusnya tidak dapat bertahan lagi, tetapi Savita tetap tidak bisa diberikan layanan aborsi. Irlandia adalah negara Katolik dan menghentikan kehamilan ketika masih ada denyut jantung merupakan tindakan illegal, orang-orang mengatakan kepadanya.

Ia terpaksa pulang dan menunggu sampai denyut fetusnya menghilang. Saat itu terjadi, ia sudah mengalami infeksi. Nyawanya tak tertolong. Ia meninggal.

Kemewahan juga tidak dimiliki perempuan korban perkosaan berusia 14 tahun. “Kasus X” terjadi pada 1992. Perkosaan menyebabkan ia hamil. Ia dihalang-halangi pergi ke Inggris untuk melakukan aborsi. Ia akhirnya merisikokan nyawanya sendiri.

Artinya, peraturan ketat yang menghalangi hak asasi perempuan atas kesehatan dan tubuhnya tidak membuat aborsi enyah. Malah, peraturan semacam itu hanya membuat perempuan mengakses aborsi dengan membahayakan dirinya sendiri. Mereka mempertimbangkan jatuh dari tangga, minum alkohol, memukul perutnya sebagai cara-cara untuk melakukan aborsi.

Perempuan juga memilih mengakses aborsi dengan cara yang lebih susah dan lebih mahal. Menurut IFPA, antara 1980 sampai 2016, Departemen Kesehatan Inggris mengeluarkan statistik yang menunjukkan bahwa terdapat 168.703 perempuan yang mengakses layanan aborsi dengan alamat Irlandia.

Bahkan, hanya melihat pada 2016, sejumlah 3.265 perempuan—termasuk remaja—mengakses layanan itu. Itu belum menjadi angka keseluruhan mengingat banyak perempuan juga bepergian ke negara lain untuk mengakses aborsi, misalnya ke Belanda.

Lagi-lagi, itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kemewahan, finansial misalnya.

Pilihan lain bagi perempuan adalah melakukan aborsi medis di rumahnya. Setiap hari ada lima permintaan pil aborsi dari Irlandia, berdasarkan data Women on Web yang diolah dan dianalisis oleh Abigail Aiken, asisten profesor di Universitas Texas, Austin. Studinya menunjukkan bahwa 95% perempuan berhasil mengakhiri kehamilannya dan 5% memerlukan tindakan medis. Women on Web memberikan layanan aborsi medis aman bagi perempuan di banyak negara, termasuk Irlandia.

“Kita tidak bisa lagi terus-menerus mengekspor masalah kita dan mengimpor solusinya,” demikian yang dikatakan Perdana Menteri Irlandia, Leo Varadkar.

Malah, suara-suara pemilih berdatangan dari berbagai negara. Orang-orang rela pulang demi suaranya masuk hitungan. Perjalanan 30 jam menjadi bukan persoalan. Seseorang menawarkan uangnya untuk digunakan sebagai biaya perjalanan orang lain. Semua demi hitungan “iya”.

 

*Foto diambil dari: https://www.belfasttelegraph.co.uk/news/republic-of-ireland/five-women-a-day-seek-online-abortion-pills-study-finds-36863573.html