Advokasi

Ketersediaan akses aborsi aman justru bisa mendukung pembangunan Indonesia

Ketersediaan akses aborsi aman justru bisa mendukung pembangunan Indonesia. Akses perempuan dan remaja perempuan terhadap informasi, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi dibatasi. Dampaknya, perempuan tidak begitu mengenal tubuhnya sendiri sehingga menjadi rentan dalam mengalami kekerasan. Bagaimana perempuan dan remaja perempuan bisa menikmati hasil pembangunan?

 

Berawal dari Hukum Belanda

Pembatasan hak perempuan terhadap kesehatannya bisa terlihat ketika aborsi diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia yang mengatur soal aborsi merupakan peninggalan kolonial Belanda sejak 1915. Pun hukum yang mengatur aborsi di Belanda sudah berubah, hukum Indonesia masih membatasi akses aborsi. Justru, perempuan yang melakukan aborsi, dokter atau dukun yang memberikan layanan, juga pendamping bisa terancam hukuman pidana. Dasar hukumnya merujuk pada norma agama alih-alih hak asasi perempuan.

 

Izin Klinik Aborsi

Perjuangan aktivis yang mengedepankan hak-hak perempuan untuk bisa mengakses aborsi aman di Indonesia sudah mulai sejak 1970-an. Hal ini dilakukan mengingat banyak perempuan yang memerlukan akses ini. Pemerintah bahkan pernah memberikan izin untuk layanan klinik aborsi.

 

Hak Kesehatan (Seksualitas dan) Reproduksi

UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan keluar. Aborsi tidak disebutkan secara gamblang (coba lihat Pasal 15). Beberapa organisasi di Indonesia—sebut saja dua di antaranya: Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)—melanjutkan perjuangannya. Aktivis saat itu memilih tidak secara langsung menyebutkan aborsi, melainkan menggunakan jalur hak kesehatan seksualitas dan reproduksi.

 

Persyaratan Aborsi

Usaha mereka menghasilkan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Aborsi boleh dilakukan dengan dua ketentuan, yaitu kasus perkosaan dan indikasi darurat medis. Peraturan turunannya pun sudah disahkan: PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan Permenkes No. 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan. Meskipun sudah ada payung hukumnya, implementasinya belum berjalan sebagaimana mestinya. Perempuan masih kesulitan mencari akses aborsi aman. Itu sama saja memaksa perempuan untuk mengakses layanan aborsi tidak aman.

Berbagai inisiatif perlu didorong agar Permenkes No. 3 Tahun 2016 ini dapat menjadi rujukan, salah satunya melalui sosialisasi kepada berbagai stakeholders. Tidak hanya sosialisasi, mekanisme rujukan yang jelas pun harus segera dibuat agar seluruh pihak terkait dapat menjalankan PP No. 61 Tahun 2014 dengan maksimal. Untuk mengawal dan mempercepat proses implementasi, keberadaan jaringan yang kuat sangat diperlukan untuk merumuskan strategi dalam memastikan pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan.

 

Kerja Bersama Advokasi

Untuk mengawal dan memonitoring implementasi PP No. 61 Tahun 2014, sembilan organisasi—Women on Web salah satunya—dan sebelas individu yang punya perhatian terhadap hak asasi perempuan membentuk jaringan. Berada di lima provinsi di Indonesia, perhatian anggota Save All Women and Girls (SAWG) cukup beragam: pendidikan, layanan, advokasi, dan pengembangan kapasitas.