Kupang: Kemanusiaan mengalahkan stigma

Layanan kesehatan seksualitas dan reproduksi kerap tidak mudah didapatkan jika seseorang belum memegang status sudah menikah, apalagi remaja. Moralnya biasanya dipertanyakan sehingga membuat remaja perempuan merasa malu, putus asa, dan bersalah. Banyak tenaga kesehatan dan tenaga medis menolak memberikan layanan kontrasepsi bagi perempuan yang belum menikah, termasuk temaja. Apalagi aborsi.

Justru, penolakan tersebut kadang membahayakan perempuan.

Walaupun Linda Rae Bennet melakukan penelitian tentang pengalaman perempuan belum menikah yang melakukan aborsi di Lombok, Indonesia Timur pada 2001, situasi tersebut masih tergambarkan di Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Menanggapi situasi tersebut, Amalia—sebagai representatif Women on Web—diundang oleh Instituta Hak Asasi Perempuan (IHAP) dalam acara Pelatihan Pelayanan Ramah Remaja pada 20—21 November 2018. Ia memfasilitasi sesi layanan aborsi aman dan berbagi pengalaman Women on Web kepada penyedia layanan kesehatan dan kasus kekerasan berbasis gender dan seksualitas yang berasal dari Kabupaten Timor Tengah Utara, Kota Kupang, dan Kabupaten Manggarai Barat.

Amalia membuka sesi dengan mengupas lapisan-lapisan hak istimewa setiap orang, seperti abilitas, usia, status pernikahan, akses terhadap internet, ekonomi, sosial-budaya, dan pendidikan. Ini bisa menjadi bekal dalam memberikan layanan kepada perempuan yang hak istimewanya absen. Situasi yang mereka alami seringnya merupakan akibat dari kejanggalan sistem, tidak terkait moral.

Kepercayaan terhadap klien menjadi landasan penting yang mesti terus melekat pada pemberi layanan. Terlepas dari identitas orang-orang yang datang kepada mereka.

Alasan kedatangan mereka pun beragam. Amalia berbagi pertanyaan-pertanyaan yang diterima helpdesk Women on Web sehari-hari. Sebut saja kontrasepsi, konfirmasi kehamilan, juga aborsi aman. Aborsi medis bisa jadi salah satu alternatif dengan menggunakan Mifepristone dan Misoprostol dengan kemungkinan keberhasilan yang lebih tinggi atau bisa juga Misoprostol saja.

Sesi ditutup dengan pertanyaan: “Apa yang bisa Anda lakukan jika berhadapan dengan seorang remaja perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan?”

 

1 orang menyatakan kesediaannya memberikan layanan aborsi aman.

4 orang menyarankan perempuan untuk melanjutkan kehamilan.

10 orang merujuknya kepada pemberi layanan yang bisa membantu, termasuk Women on Web.

20 orang melakukan konseling dan membiarkan perempuan mengambil keputusan bagi dirinya sendiri.

 

“Saya bersedia menjadi pendamping dalam memberikan layanan aborsi aman.”

 

Sekuat apa pun setigma terhadap perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, ternyata banyak orang bersedia mendampingi mereka.