RUU PKS tentang Aborsi: Keputusan di Tangan Perempuan

“Saya ibu dari 4 anak. Yang pertama umur 8 th, yang kedua 7 th, yang ke-3 mau 2 th, dan yang ke-4 baru mau satu tahun… Saya sudah telat haid 10 hari. Pas saya test, hasilnya positif.. Sya masih sangat kerepotan untuk mengurus anak anak dan suami.”

Seorang ibu dari Indonesia yang sudah berumah tangga mencari tahu akses layanan aborsi aman melalui Women on Web. Tanpa ditanya alasannya, ia menceritakan kisahnya. Ini hanya satu dari sekian banyak perempuan yang menghubungi Women on Web untuk akses layanan aborsi aman.

Cerita ibu empat anak ini dan ibu lainnya menjadi bukti bahwa aborsi aman juga diakses oleh perempuan-perempuan dalam status pernikahan. Media sosial ramai dengan pendapat orang yang ketakutan bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) malah mendukung seks di luar pernikahan.

Aborsi menjadi salah satu isu yang diangkat dalam Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Draf RUU PKS terakhir (31 Januari 2017) berusaha mengisi kekosongan hukum untuk melindungi perempuan yang tidak berkehendak melakukan aborsi. Draf ini menunjukkan bahwa perempuan perlu mempunyai kekuasaan penuh—sampai pengambilan keputusan—terhadap tubuhnya. Pada saat yang sama, draf ini juga mempercayai keputusan perempuan.

Naskah Akademik RUU PKS menegaskan tentang persetujuan perempuan yang tercantum dalam UU Kesehatan, “Setiap perempuan apapun kondisinya ketika akan melakukan aborsi haruslah berdasarkan kehendak sendiri, bukan atas paksaan apalagi ancaman dari pihak lain.” Namun, UU Kesehatan belum mengatur lebih lanjut jika perempuan tidak memberikan persetujuannya. Maka itu, RUU PKS bisa menjadi salah satu cara untuk melindungi perempuan dari paksaan.

Pemaksaan aborsi juga bisa dilakukan oleh negara secara implisit melalui kebijakannya. Misalnya, menetapkan batas jumlah anak dalam rangka menahan jumlah populasi. Lagi-lagi, perempuan dilihat hanya sebagai alat kontrol demi keberlangsungan negara tanpa memperhatikan kualitas kehidupan perempuannya sendiri.

Pemaksaan yang lebih banyak terjadi dilakukan oleh pasangan maupun keluarga. Sudah banyak cerita dalam mesin pencarian internet yang memposisikan perempuan dalam situasi terpojok, misalnya dengan kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, stigma dan diskriminasi yang melekat terhadap perempuan juga bisa dilihat sebagai faktor pendorong pemaksaan aborsi. Misalnya, cibiran terhadap perempuan yang harus berhubungan seksual dari etnis yang sama, perempuan yang harus punya anak dengan jenis kelamin tertentu, perempuan yang harus punya anak dalam ikatan pernikahan. Maka itu, RUU PKS yang berpusat pada keputusan perempuan dipandang sebagai kekuatan.

Namun, banyak orang masih mempersoalkan isu aborsi ini. Sebuah petisi yang mengajak penolakan RUU PKS ini mengatakan bahwa “Pemaksaan aborsi bisa dijerat hukum, sedangkan yg sukarela diperbolehkan.” Jika tidak dilepaskan dari konteksnya, pernyatan itu mengandung makna aborsi tidak diperbolehkan dengan atau tanpa persetujuan perempuan. Sebuah aliansi juga mengutarakan keberatan dengan pasal aborsi dalam Rapat Dengan Pendapat Umum di DPR. Pun, dalam paragraf yang sama juga mengakui bahwa aborsi boleh dilakukan dalam kondisi medis tertentu.

Padahal, Indonesia sudah mengatur aborsi yang dibolehkan dalam UU Kesehatan. Itu pun masih begitu membatasi. Pembatasan tidak membuat kebutuhan aborsi menurun. Bahkan, pembatasan terhadap akses aborsi yang aman malah bisa membahayakan kesehatan perempuan, bahkan bisa menghilangkan nyawa perempuan. Angka Kematian Ibu berpotensi meningkat.