KUHP: Pelarangan Aborsi Peninggalan Belanda

KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) mengatur soal aborsi dalam Pasal 299, 347, 348, 349. Aborsi dilarang tanpa ada pengecualian. Padahal, KUHP merupakan turunan dari Hukum Pidana penjajahan Belanda sejak 1918. Pada masa itu, Belanda melarang tindakan aborsi, kemudian diadopsi di Indonesia.

Saat ini, peraturan aborsi di Belanda sudah jauh lebih baik; aborsi diperbolehkan selama dilakukan di klinik atau rumah sakit bersertifikat. Sayangnya, pelarangan aborsi yang awal masih menyisa di dalam KUHP Indonesia tanpa ada revisi.

 

Tidak Berpihak kepada Perempuan

Pasal-pasal aborsi dalam KUHP bahkan tidak mempertimbangkan alasan kesehatan perempuan yang tidak punya pilihan selain menggugurkan kandungannya demi menyelamatkan nyawa dirinya sendiri. Bukan hanya itu, kehamilan yang disebabkan oleh perkosaan juga tidak menjadi pertimbangan dalam KUHP.

Alhasil, perempuan yang melakukan aborsi dengan alasan apapun dikenakan pidana penjara, seperti yang disebutkan dalam KUHP Pasal 346.

 

Alasan Kesehatan Tak Berlaku

Bagaimana dengan pengecualian yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan dengan alasan kesehatan? Pertanyaan itu sudah pernah diajukan dalam pembentukan Nederlands Strafwetboek. Menteri Kehakiman Regout memberikan alasan tidak dimasukkannya dalam pasal-pasal ini kepada Parlemen, yaitu tindakan tersebut dalam dibenarkan karena sesuai dengan aturan-aturan pekerjaan atau profesinya (als hij handelt naar de regelen zijner kunst).[1]

Siapapun yang dengan sengaja mengobati atau menyuruh perempuan untuk berobat sehingga aborsi terjadi juga dikenakan pidana penjara atau pidana denda. Itu tertuang dalam Pasal 299. Tindakan untuk memberikan informasi atau memberikan harapan bahwa aborsi bisa terjadi termasuk dalam pasal ini. Lebih-lebih, orang yang mencari keuntungan dari tindakan ini ditambah hukumannya. Profesi atau pekerjaannya juga diancam untuk dicabut.

 

Persetujuan Perempuan dan Orang Hamil

Orang yang memberikan tindakan aborsi tanpa persetujuan perempuan juga diatur dalam Pasal 347. Jika tindakannya itu menyebabkan perempuan meninggal dunia, ancaman pidana penjaranya pun bertambah. Hal ini juga coba diatur dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Jika berdiri sendiri, bagian ini sebenarnya bisa dilihat berpihak kepada perempuan. Pihak yang memaksa perempuan untuk melakukan aborsi memang tidak bisa dibenarkan, pun pemaknaan “pemaksaan” perlu dibuat lebih detil.

Jika perempuan memberikan persetujuannya, tindakan aborsi tetap diancam pidana penjara. Hukuman itu bertambah kalau menyebabkan kematian perempuan yang bersangkutan.

Pengecualian aborsi sudah diatur dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009.

[1] Nababan, Frenia dkk. Editor: Eddyono, Supriyadi Widodo. Problem Aturan Aborsi: Ancaman Kriminalisasi Tenaga Kesehatan, Korban Perkosaan, dan Ibu Hamil dalam R KUHP. Jakarta, PKBI: 2017, hlm. 6.