Memandang aborsi atau pengguguran kandungan dari kacamata agama memang rumit. Tapi, sebenarnya bagaimana pandangan Islam terhadap aborsi. Baca lengkapnya di sini.
Di Amerika Serikat, kelompok anti-aborsi menggunakan Alkitab sebagai dasar argumen mereka. Sementara itu, perempuan di negara-negara Arab juga masih bergantung pada berbagai hukum aborsi yang didasari interpretasi hukum Islam masing-masing negara.
Ada tiga kategori negara-negara Arab terkait aborsi: negara-negara seperti Irak, seperti juga Tepi Barat Palestina dan Jalur Gaza, melarang prosedur ini, sementara Bahrain, Iran, Lebanon, Oman, Suriah, Uni Emirat Arab dan Yaman mengizinkan aborsi hanya untuk menyelamatkan hidup perempuan. Di Yordania, Kuwait, Qatar dan Arab Saudi, aborsi diperbolehkan dalam kondisi yang bisa mengakibatkan komplikasi kesehatan, menurut New York-based Center for Reproductive Rights.
Hazal Atay, seorang kandidat doktor di Paris Institute of Political Studies yang telah bekerja di bidang hak reproduktif dan seksual untuk beberapa tahun, mengatakan bahwa Tunisia dan Turki saat ini memiliki hukum aborsi yang paling tidak ketat.
Tapi, bagaimanakah sebenarnya hukum Islam memandang aborsi?
Hukum Islam Tentang Aborsi
Menurut Atay, hukum Islam memiliki beberapa pandangan yang bertentangan terkait aborsi dan walaupun sebagian besar melarangnya, aborsi sebenarnya diperbolehkan dalam situasi-situasi tertentu.
“Ada beberapa pandangan yang berbeda,” katanya. “Kita tahu bahwa di masa Kekaisaran Ottoman, sekolah Hanafi dari Islam Sunni memiliki pendekatan yang lebih toleran terhadap isu aborsi sampai abad ke-18. Menurut sekolah ini, aborsi tidak haram [terlarang], tapi makruh [perbuatan yang sebaiknya tidak dilakukan] sampai hari ke-120 kehamilan.”
Beberapa interpretasi dari teks hukum Islam bahkan memandang fetus sebagai sebuah jiwa yang hidup setelah periode 4 bulan. Waktu ketika seorang manusia mendapatkan jiwa disebut dalam istilah keagamaan sebagai “ensoulment.”
“Tidak ada sekolah Sunni yang mengizinkan aborsi setelah waktu ini, karena dianggap fetus sudah memiliki kehidupan setelah 120 hari kehamilan,” kata Atay. “Sekolah Maliki dari Islam Sunni, yang dominan berada di Afrika Utara, adalah yang paling ketat, dan mereka tidak memperbolehkan aborsi di tahapan mana pun.”
Atay kemudian mengatakan bahwa dalam Islam Syiah, yang tersebar di Iran, Irak dan Bahrain, aborsi biasanya dilarang setelah implantasi, yang berarti ketika embrio melekat pada dinding uterus, yang terjadi dalam beberapa hari setelah pembuahan.
Tapi, Lelila Hessini, wakil ketua program Global Fund for Women yang berbasis di Amerika Serikat, percaya bahwa Islam lebih toleran daripada Kekristenan dalam hal aborsi.
“Hukum aborsi di sebagian besar negara-negara Muslim lebih progresif daripada undang-undang anti-perempuan yang kita lihat di bagian Selatan Amerika Serikat,” kata Hessini kepada The Media Line lewat email. “Misalnya, Tunisia, sebuah negara dengan mayoritas penduduk Muslim, mengubah hukum aborsinya pada 1973. Undang-undangnya lebih progresif dan aborsi lebih dapat diakses daripada di sebagian negara bagian di Amerika Serikat.”
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di Reproductive Health Matters Journal, Hessini menulis bahwa hukum Islam terbuka untuk berbagai interpretasi terkait aborsi. Tapi, dia juga menyatakan bahwa semua pemimpin agama dan penerjemah di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara adalah pria.
Dia mengatakan bahwa aborsi lebih bisa diterima secara sosial dan lebih dapat diakses sampai abad ke-19 di Mesir dan Turki. Selain itu, menurut beberapa sejarawan, hak perempuan, termasuk hak reproduktif, dibuat menjadi hukum Eropa dan dimasukkan ke dalam sistem hukum Timur Tengah.
Menurut Hessini, saat ini posisi terhadap aborsi bervariasi, walaupun keluarga berencana sangat disarankan di seluruh negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Aborsi secara umum dilarang setelah fetus mencapai “ensoulment” (120 hari setelah kehamilan), kecuali untuk menyelamatkan kehidupan perempuan.
Pelarangan Aborsi Bahayakan Perempuan
Walaupun banyak tantangan hukum di berbagai negara, 25% dari semua kehamilan secara global berakhir dengan aborsi induksi, bisa dengan obat atau melalui operasi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan setidaknya 25 juta aborsi tidak aman terjadi di seluruh dunia tiap tahunnya dan sebagian besar terjadi di negara-negara berkembang. Praktek aborsi tidak aman ini berakhir pada kematian sebanyak 47.000 perempuan per tahun, dengan tambahan 5 juta perempuan memiliki disabilitas.
Menurut New York-based Center for Reproductive Rights, batasan hukum tidak mengakibatkan jumlah aborsi menurun. Dalam pernyataan kepada The Media Line, organisasi ini mengatakan: “Malahan, batasan hukum ini membuat perempuan mempertaruhkan hidup dan kesehatan mereka dengan mencari layanan aborsi tidak aman. Organisasi hak asasi manusia internasional telah mengakui bahwa layanan aborsi legal dan aman penting untuk menjamin hak asasi manusia perempuan seutuhnya, termasuk hak asasi perempuan untuk hidup, menjadi sehat, setara dan tidak diskriminatif, privat dan memiliki otonomi akan tubuh.
Makin banyak perempuan bergantung pada telemedis, layanan kesehatan dengan pengantaran jarak jauh, untuk menggugurkan kehamilan.
Mifepristone dan misoprostol, keduanya adalah pil untuk aborsi medis, tersedia untuk dibeli secara daring. Misalnya, Women on Web yang bisa dihubungi melalui email ke info@womenonweb.org atau mengisi konsultasi dalam lama ini.
WHO menyatakan bahwa aborsi medis sampai usia kehamilan 12 minggu tidak perlu dilakukan di klinik. Perempuan selalu menemukan cara untuk melakukan aborsi. Hukum yang ketat hanya membuat aborsi menjadi rahasia, tidak aman, sepi dan traumatis untuk perempuan. Inilah mengapa aturan-aturan ini ditanggalkan di masa lalu dan kita tidak harus kembali ke hukum-hukum itu.